Kamis, 17 Februari 2011

Asma’ binti Abu Bakar

Sekumpulan lelaki Quraisy di bawah komando Abu Jahal menyatroni rumah Abu Bakar As Siddiq. Dengan keras mereka menggedor rumah Abu Bakar. Seorang wanita muda yang tidak lain adalah Asma’ putrid Abu Bakar membukakan pintu. Abu jahal lantas bertanya, “dimana Abu Bakar?” Asma’ menjawab, “saya tidak tahu”. Emosi Abu Jahal tidak terbendung. Dengan serta merta tangannya terangkat dan melayang ke arah wajah Asma’. Begitu kerasnya tamparan itu hingga anting anting Asma’ terlepas darinya. Mereka lalu pergi meninggalkan Asma’ seorang diri.
Wajar jika Abu Jahal emosi. Sebab target mereka untuk membunuh Rasulullah saw gagal. Beliau menghilang begitu saja dari Makkah, dan ternyata Abu Bakar juga menghilang bersama Rasulullah saw.
Meskipun tamparan Abu Jahal begitu keras, tetapi Asma’ menerimanya sebagai konsekuensi perjuangan. Karena sebenarnya Asma’ tahu kepergian ayahnya bersama Rasulullah saw. Bahkan Asma’lah yang mempersiapkan perbekalan makan dan minum untuk perjalanan. Sampai ketika hendak meletakkannya dikendaraan, tidak ada tali yang bisa digunakan untuk mengikat makanan dan minuman. Asma’ kemudian merobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian dan digunakannya untuk menali bekal makanan dan minuman diatas kendaraan. Melihat pengorbanan Asma’, Rasulullah bersabda, “Allah telah mengganti ikat pinggangmu ini dengan dua ikat pinggang di jannah”. Maka wanita pemberani itu dikenal sebagai dzatu nithaqain (yang memiliki dua ikat pinggang).
Selama beberapa hari Rasulullah tinggal di gua tsur untuk menyelamatkan diri dari kejaran kaum Quraisy. Asma’ lah yang membawakan makanan ke goa tsur itu. Meskipun jalan yang dilaluinya begitu terjal. Padahal saat itu beliau dalam kondisi hamil. Tetapi baginya, untuk menegakkan agama Allah tidak ada kata malas dan berkeluh kesah.
Setelah Rasulullah bersama Abu Bakar selamat sampai di Madinah, Asma’ yang bersuami Zubair bin Awwam turut berhijrah menyusul rombongan kaum muslimin lainnya bergabung ke dalam barisan masyarakat muslim.
Sesampai di Madinah, Asma’ pun melahirkan bayinya yang diberi nama Abdullah. Kelahiran bayi tersebut membuat suka cita kaum muslimin, sebab sebelumnya tersiar kabar bahwa kaum Yahudi telah menyihir kaum muslimin sehingga tidak akan bisa melahirkan. Tetapi nyatanya lahir Abdullah yang merupakan bayi mujahirin pertama. Kehidupan Asma’ di Madinah tidak bertabur gelimang kenikmatan. Karena memang suaminya bukanlah orang yang berharta. Beliau sendiri menceritakan bahwa Zubair bin Awwam menikahinya dan tidak memilliki apa apa selain seekor kuda perang. Maka pekerjaan rumah pun dikerjakan sendiri oleh Asma’. Mulai membersihkan rumah, menggiling gandum, mencarikan makanan untuk kuda, bahkan mengambil hasil bumi dari kebun yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Semua itu dilakukannya dengan tekun dan sabar, sampai satu ketika Abu Bakar menghadiahkan seorang budak kepadanya untuk membantu pekerjaannya.
Kemudian waktu pun berlalu, satu persatu orang yang dicintai Asma’ menuju ke haribaanNya. Puteranya Abdullah bin zubair pun telah menjadi lelaki yang perkasa yang kemudian menjadi penguasa Hijaz. Tetapi keadaan itu tidak disukai penguasa Syam dair bani Umayyah. Maka penguasa Syam pun mengirimkan Hajjaj bin Yusuf untuk memerangi Abdullah bin Zubair. Ternyata dalam pertempuran tersebut pasukan Abdullah banyak yang desersi sehingga jumlah pengikutnya yang setia tinggal sedikit.
Abdullah bin Zubair kemudian masuk menemui ibunya yang saat itu berusia seratus tahun, sedangkan mata beliau sudah buta, tetapi belum ada satupun giginya yang tanggal. Abdullah bin Zubair berkata, “wahai ibu, sesungguhnya orang orang telah meninggalkanku. Apa pendapatmu?” Asma’ menjawab dengan tegar, “wahai anakku, janganlah engkau mau dipermainkan anak anak bani Umayyah. Hiduplah secara mulia dan matilah secara mulia”.
Berikutnya Abdullah bin Zubair dengan beberapa pengikutnya kembali bertempur dengan gagah berani melawan pasukan Hajjaj. Hajjaj pun menawarkan keamanan dan pengampunan kepada Abdullah asalkan ia mau tunduk pada penguasa Syam.
Abdullah bin Zubair kembali menemui ibunya dan menceritakan tawaran Hajjaj. Asma’ menasihati, “wahai anakku, jangan menerima kehinaan. Sesungguhnya setiap orang pasti akan mati”. Abdullah menjawab, “saya khawatir mereka akan mencincang diriku setelah kematianku”. Asma menjawab, “sesungguhnya kambing yang telah mati tidak akan merasa sakit saat dikuliti”.
Abdullah bin zubair kemudian keluar lagi dan kembali bertempur dengan gagah berani. Sampai akhirnya beliau menghembuskan nafas yang terakhir sebagai ksatria.
Hajjaj bin Yusuf lalu menyalib mayat Abdullah untuk membuat ketakutan para penduduk Makkah. Asma’ segera keluar rumah, dan dengan tegar menghadapi kenyataan yang memilukan hati. Buah hatinya mati dan disalib musuh.
Hajjaj berkata kepadanya, “wahai ibu, khalifatul mukminin berwasiat kepadaku agar aku berlaku baik kepadamu. Apakah engkau memiliki keperluan yang bisa saya Bantu?”
Asma’ menjawab, “saya tidak butuh sesuatu darimu. Dan saya bukanlah ibumu tetapi ibu orang yang disalib itu. Dengarlah bahwa saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘akan keluar tsaqif seorang pendusta dan orang yang kejam. Adapun pendusta maka kami telah melihatnya yaitu Mukhtar, sedangkan orang yang kejam, adalah engkau”
Kemudian datanglah surat dari Abdul Malik bin Marwan untuk menurunkan jasad Abdullah bin Zubair dan dikembalikan kepada keluarganya. Maka Asma’ binti Abu Bakar sendirilah yang memandikan dan memberi wewangian kepada jasad puteranya dan menshalatkannya.
Beberapa hari setelah itu wanita mulia itu turut menghembuskan nafasnya yang terakhir dan termasuk orang terakhir yang meninggal dari kalangan kaum muhajirin dan muhajirat.

Selasa, 15 Februari 2011

YUKABID IBUNDA MUSA as

Kisah tentang Musa as dituturkan pada beberapa ayat didalam Al Qur’anul karim, termasuk peristiwa yang dialaminya saat masih bayi, namun tidak disebutkan siapa nama orang tuanya. Menurut sebagian riwayat, nama ibunya adalah Yukabid binti Lawi, sedangkan bapaknya bernama Imran. Perkawinan Yukabid dan Imran dikaruniai tiga orang anak, Maryam (bukan ibunda isa as), Harun, dan Musa.
Menjelang kelahiran Musa as, terjadi kegemparan di Mesir. Fir’aun, penguasa mesir pada saat itu, bermimpi bahwa kekuasaannya akan dihancurkan oleh seorang laki laki dari kalangan Bani Israil yang dipandangnya sebagai bangsa budak. Kecemasan ini membuat Fir’aun kehilangan akal sehatnya. Ia kemudian memerintahkan prajuritnya untuk membunuh semua bayi laki laki yang lahir dair kalangan Bani Israil. Fir’aun menyebarkan mata matanya untuk mencari perempuan Bani Israil yang melahirkan anak laki laki dan membunuhnya apabila ditemukan.
Dalam kondisi seperti inilah Yukabid melahirkan Musa. Mulanya ia beharap agar anak yang sedang dikandungnya adalah anak perempuan. Tetapi apa daya, harapan tidak terkabul. Ia melahirkan bayi laki laki yang tampan, besar dan gagah. Musa adalah namanya.
Yukabid memandang anak yang baru dilahirkannya dengan perasaan gembira bercampur sedih dan cemas. Sungguh ia merasa bersyukur dengan anugrah luar biasa ini, bayi yang berwajah tampan yang matanya seolah berbicara: “tak perlu khawatir bunda, Allah bersama kita”, tetapi dibalik rasa syukurnya, terbayang tentara tentara fir’aun akan merenggut bayinya dari buaian, bahkan kemudian memenggal kepalanya tanpa ampun. Didekapnya bayi itu dengan jantung berdebar.
Yukabid dan keluarganya mencoba merahasiakan kelahiran Musa. Tetapi usaha mereka sia sia. Kabar tentang kelahiran Musa terdengar oleh mata mata fir’aun. Suatu hari, tentara Fir’aun mendatangi rumah mereka. Yukabid berusaha menyembunyikan bayinya.
Menurut sebagian riwayat, dalam keadaan panic, ia menyembunyikan bayinya didalam sebuah tungku didapur. Ajaib, atas pertolongan Allah swt, bayi itu tdak bersuara selama tentara Fir’aun menggeledah rumahnya. Akhirnya, setelah tidak berhasil menemukan bayi, mereka berlalu. Segera Yukabid mengeluarkan bayinya dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
Setelah peristiwa penggeledahan itu, kurang lebih tiga bulan Yukabid merawat Musa dengan penuh kecemasan. Siang malam ia berdoa untuk keselamatan anaknya sekaligus berfikir jalan keluar apa yang harus ditempuhnya untuk menyelamatkan Musa.
Dengan caraNya, akhirnya Allah swt mengilhamkan kepada Yukabid untuk menghanyutkan anaknya disungai Nil dalam sebuah peti. Kalimat agung itu diabadikan dalam Al Qur’an surat Thaha ayat 39, “letakkanlah ia didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu akan membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuhku dan musuhnya’ Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dariKu dan supaya kamu diasuh dibawah pengawasanKu”
Setelah mendapat ilham, dengan penuh rasa tawakal, Yukabid menghanyutkan Musa disungai. Hal ini diceritakan pula dalam Al Qur’an surat Al Qashash ayat 7, ”dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa;’susukanlah ia dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah ia kedalam sungai(Nil). Dan jangan kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul”
Peti berisi bayi Musa mulai diletakkan diatas permukaan sungai. Perlahan, aliran sungai Nil menghanyutkan peti itu. Tiba tiba muncul kecemasan di hati Yukabid. Perasaan cemas dan sedih meliputi hatinya. Apabila bukan karena pertolongan Allah, mungkin ia sudah berteriak teriak minta tolong agar orang orang menarik peti itu kembali ke tepian.
Untuk mengurangi rasa cemasnya, Yukabid memerintahkan Maryam, kakak perempuan Musa, mengikuti peti tersebut. Peti itu terombang ambing dipermainkan gelombang. Maryam terus mengikutinya. Dari kejauhan ia melihat alunan gelombang membawa peti ke aliran sungai yang memang sengaja dibelokkan ke halaman istana Fir’aun. Dikolam itu biasanya Asiah, istri Fir’aun dan dayang dayangnya, mandi sambil bercengkrama.
Maryam sangat terkejut menyaksikan kejadian itu. Ia kemudian memberitahukan kepada ibunya apa yang telah terjadi. Yukabid menjadi cemas.
Allahu Akbar, Allah maha besar lagi maha berkehendak. Bayi Musa yang sengaja diantarkan Allah menjumpai musuhnya ternyata memikat hati Asiah. Atas bujukannya, Fir’aun urung membunuhnya, bahkan menjadikan Musa sebagai anak angkat. Kejadian ini diabadikan Allah dalam kitab sucinya, “dan berkata istri Fir’aun,’ia penyejuk mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak’, sedang mereka tiada menyadari” (QS Al Qashash ayat 9). Betapa tenanglah hati Yukabid mendengar kabar ini.
Fir’aun dan istrinya kemudian berusahan mencarikan ibu susu bagi bayi itu. Banyak ibu yang menawarkan dirinya kepada fir’aun untuk menjadi ibu susu, namun Allah punya rencana lain. Ia mencegah Musa menyusu kepada mereka. Penolakan Musa membuat fir’aun dan istrinya bingung.
Dalam keadaan seperti itu, muncullah Maryam. Ia berkata kepada mereka, “maukah aku tunjukkan sebuah keluarga yang dapat memeliharanya untukmu dan mereka berlaku baik kepadanya?”
Fir’aun dan istrinya merasa gembira mendengar perkataan maryam. Kemudian diiringi beberapa pengawal istana mereka mengunjungi Yukabid dengan membawa Musa. Betapa bahagianya hati Yukabid melihat Musa kembali. Dengan segenap naluri keibuannya, ia pun menyusui bayinya. Musa menyusu dengan lahap.
Sebagian riwayat menceritakan, Fir’aun merasa heran melihat kejadian tersebut, kemudian bertanya, “siapakah engkau? Mengapa ia mau menyusu kepadamu, tetapi tidak kepada perempuan lain?”
Dengan tenang Yukabid menjawab,”saya seorang perempuan yang berbau harum dan memiliki air susu yang baik. Semua bayi senang menyusu kepadaku”. Hapuslah kecurigaan Fir’aun mendengar jawaban itu.
Demikianlah Yukabid kembali berkumpul dengan anaknya dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Keteguhan hatinya dan sikap tawakalnya yang tinggi pada Allah telah membuahkan keridhoan dan pertolongan Allah.
“maka Kami kembalikan dia(Musa) kepada ibunya, supaya ia merasa gembira dan tidak berduka cita, dan supaya dia mengetahui bahwa janji Allah adalah benar, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS Al Qashash ayat 13).
Kelak air susu Yukabid yang mengaliri darah Musa membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani. Pada saatnya, ia adalah sang penakluk yang membinasakan Fir’aun. Keteguhan Yukabid berbuah pertolongan Allah, sedangkan kebodohan Fir’aun berbuah kehancuran.

Minggu, 13 Februari 2011

Balasan sesuai perbuatan


Pada suatu hari ada seorang lelaki sedang duduk makan bersama dengan istrinya dengan lauk pauk yang membuat lidah berliur, yaitu ayam panggang. Tiba tiba pintu rumahnya diketuk orang dan ada suara merengek rengek, “tolonglah tuan, aku seorang pengembara yang tidak punya”
Namun tuan rumah itu berbuat kesalahan. Dia menemui pengemis itu dengan marah dan mengusir serta mencacinya tanpa perasaan. Dengan wajah murung dan sedih, pengemis malang itu pergi meninggalkan rumah.
Beberapa hari kemudian, lelaki tuan rumah jatuh miskin dan melarat mendadak. Semua kemewahan dan kenikmatan yang dimilikinya sirna tanpa tersisa sama sekali. Karena tidak tahan dengan keadaan yang berat itu, ia berkelana keseantero negri dan hidup dengan menggantungkan diri kepada belas kasih orang lain. Dia telah menceraikan istrinya sebelum pengembaraan ini, kemudian istrinya menikah lagi dengan orang lain didaerah lain.
Dalam sebuah kesempatan, bekas istrinya dan suami barunya sedang makan dirumah mereka dengan lauk yang menggoyang lidah, yaitu ayam panggang dan beberapa potong roti. Ketika mereka sedang makan itu, tiba tiba pintu rumah mereka diketuk orang dan ada suara yang memanggil, “tolonglah tuan, aku seorang pengembara yang papa”. Karena sang suami baik hati, dia berkata kepada istrinya, “berikan ayam panggang dan dua potong roti ini kepada pengemis di depan pintu kita”.
Pada saat keluar, si istri itu memperhatikan pengemis yang berada di depan pintu rumahnya. Setelah ia mengamati dengan seksama, ternyata pengemis itu adalah bekas suaminya dulu. Begitu si pengemis pergi setelah menerima ayam dan roti, si istri masuk untuk kembali meneruskan makannya bersama suaminya yang kemudian menanyakan tentang pengemis itu. Dia lalu memberitahu suaminya, bahwa pengemis tadi adalah bekas suaminya dulu dan mengisahkan bagaimana dia mengusir seorang pengemis. Setelah berdiam beberapa saat, suaminya yang sekarang berkata, “Demi Allah, akulah pengemis yang kalian usir dahulu”